Jumat, 06 Juli 2012

Membeningkan Visi


VISI, adalah tujuan yang mampu mengokohkan jiwa dan merambatkan cita. Disana ada mimpi, harapan, dan cita-cita kita. Visi bahkan lebih penting dari pada pengetahuan. Pengetahuan bersifat lampau, sudah berlalu, dan terbatas. Sedangkan visi adalah masa depan yang tak terbatas, begitu kata Albert Einstein. Visi lebih besar dari pada sejarah, lebih besar dari pada beban kita, lebih besar dari pada luka nestapa emosi kita di masa lalu. Kita mungkin tak tahu apa yang akan terjadi pada impian yang ingin kita gapai tersebut, sekitar kita mungkin masih gelap, tapi visilah yang bersinar terang di kejauhan dan memberi kita arah, membuat kita tetap berjalan ke arah impian meski harus merangkak, terantuk, terjerambab, dan terperosok. Lalu ada saat di antara berbagai kejatuhan itu di mana kita bisa berlari, meloncat, atau bahkan terbang.

Mereka yang punya keyakinan kuat pada visi, mimpi, dan tujuannya akan tertuntun, bahkan kesulitan sekalipun mampu memberinya jalan. Sedang mereka yang tak yakin pada visinya, tak punya tujuan yang ingin dicapai hanya akan berdiri, berjongkok, berputar-putar, dan gigit jari, lalu mencari-cari alasan. Bahkan alasan-alasan ini akan datang sendiri tanpa dicari. Karena akan selalu ada jalan yang mendaki, selalu ada laut yang membadai.

Kisah-kisah ini menjadi semangat luar biasa bagi saya. Adalah Muhammad A-Fatih, sultan muda berusia 23 tahun, sang penakluk Konstantinopel. Sejak kecil beliau sering mendengar sebuah hadist tentang seorang sahabat yang bertanya “manakah yang lebih dulu dibebaskan, Konstantinopel ataukah roma?.” Rasul menjawab,”kota Heraclius lebih dulu, yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pasukan, dan pemimpinnya adalah sebaik-baik panglima.”

Hadist ini membuat cita tujuh abad lalu itu bergemuruh di dadanya, menggelorakan impiannya, lalu berusaha memantaskan diri agar menjadi ‘sebaik-baiknya panglima’ atau setidaknya ‘sebaik-baiknya pasukan’. Beliau menjauhi kehidupan mewah istana, berguru pada para ulama, dan mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya. Sejak baligh sampai menjadi seorang sultan, beliau tak pernah meninggalkan shalat fardhu, puasa ramadhan, dan shalat malam, tak pernah khatam Al-Quran lebih dari sebulan, tak pernah kehilangan hafalan Qurannya, dan tak pernah meninggalkan puasa Ayyamul Bidh. Luar Biasa..visi menjadi ’pemimpin sebaik-baiknya pemimpin’ itu terwujud dengan ditaklukkannya Konstantinopel.

Kisah yang satu ini pun tak kalah mengobarkan semangat introspeksi diri. kisah tentang seorang pemuda biasa yang lahir dari keluarga miskin lagi pengungsi. Mimpinya adalah membebaskan tanah kelahirannya. Tak disangka, di usianya yang masih remaja, 16 tahun, beliau lumpuh. Namun bagi pemuda ini kelumpuhannya sama sekali tak mampu melumpuhkan mimpinya tersebut, bahkan kian berkobar. Perkenalkan nama beliau adalah Ahmad Yassin.

Lelaki ini ditakuti Israel, bukan karena fisiknya seperti Rambo. Beliau hanya seorang yang berkursi roda, yang bahkan bicara pun terbata-bata. Bertahun-tahun kemudian beliau berada dalam penjara Israel. Orang-orang mungkin bertanya, "apa bahayanya orang tua yang lumpuh dan berpenyakitan ini?", tapi inilah yang membuat Israel begitu ketakukan. Kekuatan jiwa yang membuat visi beliau begitu kokoh. Jiwa yang dipenuhi impian dan keyakinan pada janji Ilahi, hingga jasad yang rapuh itu bersinar bagaikan matahari. Membuat beliau begitu perkasa, begitu berwibawa di hadapan jutaan pasukan bersenjata lengkap berkendaraan lapis baja.

Saya membaca tentang visi dan kisah ini dari buku Jalan Cinta Para Pejuang goresan pena Salim A. Fillah. Subhanallah, gairah mereka adalah syurga. Kuatnya harapan dan keyakinan itu membuat motivasi mereka tak pernah mati. Rasa haru dan semangat terasa membuncah di hati saya. Kesadaran terkuak, selama ini saya belum melakukan apa-apa.

Dan Alangkah sedihnya cinta yang tak punya visi. Ia kecil, mengerdil. Tak melewati batas-batas syahwati. Tak melewati rasam-rasam emosi. Tak menjangkau ufuk-ufuk Ilahi. Ia hanya kenangan lama yang tak lebih dari jejak-jejak air mata. Kalaupun ada hari ini, ia hanya jadi rindu semalam, cemburu sepagi, dan tengkar sesiang.

Lalu apa visi, mimpi, dan harapan kita? Mungkin ada di antara kita yang tersengat dengan kata-kata, “ibu adalah sekolah pertama”, mereka yang sangat ingin mendidik generasi-generasi yang mengenal rabbnya sejak dini. Belajarlah dari kisah ini, lalu berusaha belajar memantaskan diri dengan cita-cita tersebut dan mendekatkan diri pada Allah sedekat-dekatnya. Sungguh hanya dengan visi yang besar, tinggi, dan bening kita bisa menyusul mimpi tersebut. Wallahu ‘Alam.
READ MORE - Membeningkan Visi

Memaknai hidup dengan ‘Pengertian’

"FASE tersulit dalam hidup bukanlah ketika tak ada seorangpun yang mengerti dirimu, tetapi justru pada saat kamu tidak mengerti dirimu sendiri.” Anonim.
-------------------------------------------------------------------------------------
Ya terkadang kita merasa tak dimengerti, padahal kitalah yang tak mengerti diri kita sendiri. Bagaimanalah orang lain mau mengerti kita dan bagaimana pula kita bisa mengerti orang lain, kalau kita bahkan tidak mengerti diri sendiri. Dan terkadang hal-hal yang menyakitkan justru mampu membuat seseorang menyadari apa yang dirasakannya. Kehilangan misalnya, terkadang justru mampu menjelaskan apa yang sesungguhnya kita rasakan.

Tanpa sadar kita menjadikan diri kita sebagai cermin terhadap orang lain. Kita merasa apa yang kita pikirkan sama dengan apa yang orang lain pikirkan. Kalau kita sering berprasangka buruk misalnya, kita akan merasa orang lain pun seperti itu. Padahal tentu saja beda. Mungkin merekapun berfikir bahwa apa yang mereka pikirkan sama dengan apa yang kita pikirkan. Satu-satunya cara agar kita mengetahui pasti apa yang orang pikirkan dan orang tahu apa yang kita pikirkan adalah komunikasi.

Saya teringat suatu hari saya menge-pel asrama pada jam piket anak-anak, niat saya sebenarnya ingin membantu mereka. Tapi apa yang terjadi?, ternyata anak-anak malah mengira saya sedang tersinggung karena mereka terlambat piket hari itu. Padahal saya sungguh-sungguh hanya ingin membantu dan kasihan melihat mereka capek seharian. Akhirnya saya duduk dan menjelaskan, baru mereka ceria kembali.

Dari kejadian itu saya berfikir, bahkan niat baik sekalipun terkadang bisa menjadi asap tanpa api jika tanpa penjelasan. Kenapa? Lagi-lagi karena kita tak pernah tau apa yang orang lain pikirkan, begitu juga mereka tidak tahu apa yang kita pikirkan. Sangat bijaklah Sang Nabi ketika melarang kita berprasangka buruk, karena sebagian prasangka itu kebanyakan salah.

Sebuah hadits dalam kitab ash Shahihain dari Anas tentang kisah kunjungan yang dilakukan oleh Shafiyyah kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam saat beliau i'tikaf di masjid pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. Lalu Rasul keluar bersama Shafiyyah untuk mengantarnya pulang. Kemudian beliau berpapasan dengan dua orang laki-laki dari kaum Anshar. Ketika melihat Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam, keduanya mempercepat jalannya maka Rasulullah bersabda: “Berjalanlah seperti biasa, karena sesungguhnya dia adalah Shafiyyah Binti Huyay.” Kemudian keduanya berkata: “Mahasuci Allah, wahai Rasulullah.” Beliaupun bersabda:
“Sesungguhnya syaitan itu mengalir dalam tubuh anak Adam seperti aliran darah. Dan sesungguhnya aku khawatir dia akan memasukkan sesuatu (keburukan) ke dalam hati kalian berdua.” (HR Bukhari)

Imam Syafi’i menjelaskan mengenai hadits tersebut,”jika kalian mengalami hal semacam itu, maka lakukanlah seperti yang dilakukan nabi. Jangan sampai orang lain menganggap kalian melakukan hal yang tidak baik. ini tidak berarti menuduh orang berprasangka, sebagaimana tidak mungkin Rasul menuduh kedua sahabat itu berprasangka. Akan tetapi menjaga agar jangan sampai muncul fitnah adalah hal yang utama.”

Artinya Rasul menutup kemungkinan prasangka (zhan) dengan berkomunikasi langsung dengan dua sahabat tersebut dan mengatakan bahwa beliau memang sedang bersama wanita (di malam hari) tapi itu adalah istri beliau sendiri, Shafiyyah.

Dalam makna pengertian, seperti yang kita bahas sebelumnya, ada belajar empati, ada introspeksi diri (bahasan ulat, kepompong, kupu-Kupu), dan ada pula komunikasi. Subhanallah, Agama ini mengajarkan agar kita tidak berprasangka pada orang lain, sekaligus menjaga agar orang lainpun tidak berprasangka pada kita dengan cara berkomunikasi bil ihsan (dengan cara yang baik pula). Dengan tidak berprasangka pada orang lain berarti kita berusaha mengisi kebaikan dalam apa yang kita pikirkan sekaligus berusaha berprilaku baik, agar ketika kita mencerminkan diri kita pada orang lain, yang tergambar hanyalah kebaikan mereka. Sedangkan menjaga agar tidak ada prasangka buruk dari kebaikan yang kita niatkan adalah keutamaan seperti yang dilakukan oleh nabi dan dijelaskan oleh imam Syafi’i. Wallahu ‘Alam
READ MORE - Memaknai hidup dengan ‘Pengertian’

Kamis, 05 Juli 2012

Melihat Yang Tak Terlihat


SERINGKALI kita terhijab dari pesan-pesan sejati Ilahi, karena silau dengan pemandangan sekitar. Bukan lingkungan, tren atau mode yang salah, tapi kitalah yang tidak mampu memilah dan menangkap pesan sejati karena perhatian kita lebih fokus pada apa yang terlihat. Kita lebih perhatian pada siapa yang menyampaikan dan semua tindak tanduknya dari pada pesan itu sendiri.
-------------------------------------------------------------------------------------
Suatu hari, Nu’man bin Qauqal bertanya pada Rasulullah,”Wahai nabi, jika aku melakukan shalat fardhu, berpuasa ramadhan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, dan tiada lagi ku tambah atasnya, apakah aku akan masuk syurga?.” Rasulpun mengiyakan. (HR Muslim).

Kenyataannya amal shalih yang dilakukan oleh sahabat yang bertanya ini sama sekali tidak seminimalis pertanyaannya. Berdasarkan penjelasan Syeikh Muhammad Tatay dalam penjelasan makna hadits Arba’in, meski Nu’man bin Qauqal memiliki keterbatasan fisik (kondisi kaki beliau yang tidak sama dengan orang lain), beliau ‘nyaris’ mewajibkan amalan-amalan nafilah untuk dirinya, selalu melakukan apapun yang Rasul sunnahkan, dan istiqamah/komitmen dalam berbagai keutamaan amal. Bahkan beliau ikut dalam perang Badar dan syahid dalam perang Uhud. Padahal beliau memiliki keterbatasan dalam berjalan, tapi Amal beliau melampaui keterbatasan fisiknya bahkan berhasil menggapai syurga. Ketika beliau telah syahid, Rasul bersabda,”Sungguh telah kulihat dia bercengkrama dalam hijaunya syurga.”

Kisah ini yang juga terjadi pada jaman Rasul, adalah Julaibib, dipanggil demikian karna fisiknya yang kecil. Tak ada yang tahu siapa orang tua dan dari mana asal beliau. Tak bernasab dan bersuku adalah cacat sosial bagi masyarakat Yatsrib, ditambah dengan tampilan fisiknya yang bungkuk, hitam, dan terkesan sangar. Namun Allah berkehendak memberikan hidayahNya. Julaibib selalu berada di shaf terdepan dalam shalat maupun jihad. Ketika beliau meninggal, Rasul sendiri yang mengafani dan menshalatkan secara pribadi. Rasul berkata yang membuat iri seluruh makhluk,”Ya allah,dia adalah bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari dirinya.”

Kisah para sahabat adalah keteladanan untuk tak mengeluh pada nasib, tak menyalahkan takdir dan tetap taat pada Allah dan Rasul. Seperti Nu’man bin Qauqal dengan keterbatasan beliau dan Julaibib yang hidup dengan pilihan-pilihan yang sangat terbatas. Tetap taat pada hal yang mungkin tidak kita suka adalah peluang berlimpahnya pahala dan Allah pasti tak menyia-nyiakan usaha hambaNya karena Dia Maha Tahu batas kemampuan kita. Seringkali ketidaksukaan kita adalah karena ketidaktahuan kita, bagian dari kebodohan kita dihadapanNya.
------------------------------------------------------------------------------------
Sore tadi seorang anak menemui saya dan menceritakan masalahnya. Saya cukup dekat dengannya, hingga apapun yang dihadapinya sering diceritakan pada saya. Dan cerita-ceritanya sering membuat saya berfikir ulang tentang banyak hal. Anak ini cerdas dan tegar padahal sering kali dia mendapat masalah yang cukup besar untuk anak seusianya. Tapi dia malah bilang, “ga apa-apa kalo Allah ga gampangin dapat sesuatu, ga apa-apa sering dikasih masalah. Kalo semuanya mudah dan ga ada masalah, nanti sekalinya dikasih ujian langsung masalah yang besar, takutnya langsung tumbang karena udah terbiasa dalam kemudahan. Justru takut kalo dikasih kemudahan terus, takutnya ternyata allah ga mau tegur-tegur lagi kalo kita buat kesalahan”. Subhanallah,luar biasa..mungkin memang ujian yang membuatnya tegar dan dewasa.

Tiba-tiba saya teringat, lebaran tahun lalu seseorang pernah mengatakan hal senada pada saya, “tertusuk duri, terinjak paku, terjepit pintu itu juga ampunan dosa kalo diniatkan”. Ah benar, justru masalah adalah bentuk kasih sayang Allah, diingatkan supaya kita tidak lalai. Bahkan segala kesenangan dan kemudahan pun hakikatnya sama saja dengan kesedihan dan kesusahan, sama-sama ujian. Apakah kita lalai atau tidak. Bersyukur atau tidak. Bersabar atau tidak.

*Untuk diriku, Lihatlah yang tidak terlihat dan kita akan menemukan bahwa tak ada tempat untuk kita mengeluh, karena tak sedetikpun Allah memberi kita alasan untuk tak bersyukur padaNya. Benar kata pepatah, “jangan lihat siapa yang berbicara tapi dengarkan kata-katanya. Ambillah kebenaran meski dari seorang anak kecil.”
-------------------------------------------------------------------------------------
Orang yang hanya memandang ke bawah, mudah merasa dia yang paling tinggi.
Orang yang hanya melihat ke atas, mudah merasa minder.
Orang yang memandang ke bawah dengan kasih sayang dan melihat ke atas dengan keikhlasan untuk belajar, akan merasa damai dalam perjalanan naik yang rendah hati.

-Mario Teguh-
READ MORE - Melihat Yang Tak Terlihat

Selasa, 03 Juli 2012

Mencintai Adalah Pilihan


"DALAM makna memberi itu posisi kita sangat kuat. Kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan atau lemah dan melangkolik saat kandas karena takdirNya. Sebab di sini kita justru sedang melakukan sebuah “pekerjaan jiwa” yang besar dan agung, MENCINTAI.

Ukuran kesejatian cintamu adalah apa yang kamu berikan padanya untuk membuat kehidupannya menjadi lebih baik. maka kamu adalah air, maka kamu adalah matahari. Ia tumbuh dan berkembang dari siraman airmu. Ia besar dan berbuah dari sinarmu."

M. Anis Matta

-----------------------------------------------------------------------------------
Cinta menjadi tak sederhana ketika cinta yang kita maksud adalah persoalan “dicintai”. Kata kerja yang diawali “di” menunjukkan sikap pasif, sesuatu yang diluar kendali penuh jiwa kita. “dicintai” berarti menunggu “diberi” cinta. Padahal kita ‘dicintai’ atau tidak bukanlah sesuatu yang bisa kita paksakan. Dunia diluar kita punya perasaan sendiri dalam memutuskan siapa yang dicintai atau tidak. Sedangkan kata kerja yang diawali “me” menunjukkan sikap “memberi”. Maka mencintai adalah keputusan kita.

Ketika kita membalikkan kata ‘dicintai’ menjadi ‘mencintai’, maka kita sendirilah yang menjadi 'nakhoda' diri kita sendiri, karena mencintai berada dalam kendali penuh jiwa merdeka kita, karena makna “mencintai” adalah “memberi”. Bahkan kita sendiri yang memilih bagaimana mengatur perasaan kita agar tak kecewa, tak merasa terhina karena penolakan. Kalau ‘mencintai’ saja sudah cukup membahagiakan, maka tak lagi risau jikapun tak ‘dicintai'. Kitalah yang memilih pikiran kita sendiri dan berusaha hanya mengisinya dengan prasangka baik, karena setiap pilihan akan ada pertanggungjawaban di hadapanNya.

Lalu, cinta harus selalu dimahkotai dengan cahaya iman, sehingga kita tak menuntut lebih dan tak merasa memiliki, karena percaya pada kebaikan-kebaikan dari semua ketentuan Allah. Rasa memiliki terkadang membawa kelalaian dan memabukkan. Dan sejatinya kita memang tak memiliki apapun didunia ini. Belajar dari kisah Nabi Ibrahim ketika Allah perintahkan beliau untuk meninggalkan Ibunda Hajar dan Ismail. Hati mungkin bergejolak tak tega, mengingat anak yang dinanti bertahun-tahun lamanya harus ditinggalkan digurun tandus tak berpenghuni bersama istri tercinta. Tapi gejolak itu menjadi keteguhan, nabi Ibrahim telah membuktikan cintanya pada Allah. Begitu pula ibunda Hajar ketika mengatakan, "kalau ini perintah Allah, maka Dia tak kan pernah meninggalkan kami." kalimat ini menjadi proklamasi iman sepanjang masa. Kelak dari sinilah lahir amalan-amalan dalam ibadah Haji. Cahaya iman yang menjadikan cinta bersujud di mihrab taat pada sang Khalik, hingga meloncati perasaan dan emosi-emosi dalam diri.

Bahwa“Cinta adalah kata kerja karena itu perlu pengorbanan, sebagaimana cinta kepada Allah tak langsung mengisi hati kita melainkan butuh usaha dan upaya untuk meraihnya. Cinta memang harus diupayakan, sehingga menjadi tak relevan ketika ada seorang suami yang mengatakan “aku sudah tak mencintaimu lagi.” Justru karena kau tak mencintainya lagi, maka cintailah dia. Karena cinta adalah kata kerja. Lakukanlan kerja jiwa raga untuk mencintainya.” (Salim A. Fillah-Jalan Cinta Para pejuang) Ya..Karena cinta adalah pilihan.

Wallahu 'Alam
READ MORE - Mencintai Adalah Pilihan

Senin, 02 Juli 2012

Wanita, Jangan Letakkan Harga Dirimu Pada Mahar

TERTARIK membahas judul ini setelah semalam ngobrol ngalur ngidul dengan seorang sahabat. Dia cerita, di daerahnya sekarang sedang ngetren “mahar berdasarkan tingginya pendidikan atau strata keluarganya”. Mungkin sudah sejak lama cerita-cerita ini beredar, hanya saya saja yang ga gaul, hehe..

Bagi saya pribadi tren ini mencengangkan sekaligus menggelikan, bagaimana mungkin seorang wanita diberi harga sesuai dengan tingkat pendidikannya atau seperti cerita teman saya itu, ada orang tua yang mengatakan “kami sudah menyekolahkan anak kami setinggi ini, jadi wajar kalo maharnya tinggi juga”. Lha, kenapa pula calon suaminya yang tidak tahu menahu ini dijadikan ‘tumbal’? bukankah memang kewajiban orang tua untuk mendidik anak-anaknya?. Lagi pula mereka yang hendak menikah ini akan mengarungi perjalanan panjang, dari pada ‘dihamburkan’ di awal bukankah lebih baik dijadikan bekal di kemudian hari?. Teman saya ini bilang, “padahal mungkin nanti Allah akan bukakan pintu rejeki mereka, sehingga sang suami malah bisa memberi lebih dari yang diminta saat ini.” yups..setuju banget, rezeki setiap manusia sudah diatur oleh Allah.

Mengenai hal ini, Rasulullah sendiri telah mengingatkan para wali agar,“Jangan mempersulit wanita-wanita yang dalam perwalianmu dengan mahar yang tinggi. Mudahkanlah, niscaya akan kamu dapati barakahnya. karena dengan meringankan mahar dan memberi jalan mudah untuk pernikahannya akan memperindah akhlak wanita itu. Namun sebaliknya, adalah keburukan jika kamu memberatkan maharnya wanita tersebut dan menyukarkan pernikahannya, karena dapat menyebabkan akhlaknya menjadi buruk.”

Tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk membentengi manusia dari perbuatan buruk, memelihara pemuda dari kerusakan serta melindungi masyarakat dari kekacauan. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi), menegakkan syari’at Islam dalam rumah tangganya agar terbentuk generasi yang bertaqwa kepada Allah SWT. Selain itu juga memperoleh keberkahan hidup. Semua tujuan tersebut dapat diperoleh jika sejak awal kita mengikuti anjuran Allah dan Rasulnya.

Rasulullah bersabda, “Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”. (Hadits Riwayat Ahmad, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim dari shahabat Abu Hurairah RA).

Kembali ke permasalahan mahar, ada baiknya kita tinjau kembali masalah ini sesuai dengan tuntunan Rasul dan teladan para sahabat. Pada masa Rasul ada beberapa kisah yang menggambarkan kesederhanaan mahar, satu dirham atau sebuah cincin besi kalau memang tidak memungkinkan untuk memberi yang lebih, sudah cukup untuk menjadi maskahwin yang layak bagi sebuah pernikahan, atau baju besi seperti saat Ali bin Abi Thalib menikahi Fathimah binti Rasulillah, atau Ummu Sulaim yang mengatakan,“Islammu, itulah maharku”, saat akan dinikahi oleh Abu Thalhah. Hadits-hadits yang meriwayatkan kisah-kisah ini diwarnai dengan keridhaan dari para wanita agung itu sendiri.

Saya tidak mengatakan bahwa semua wanita harus hanya menerima terompah seperti seorang wanita fuzarah atau segenggam tepung sebagai maharnya. Tapi sebaiknya kita mengingat kembali pesan Rasulullah bahwa “Seorang wanita yang penuh barakah dan mendapat anugerah Allah, adalah yang maharnya mudah dan akhlaknya baik. Namun sebaliknya, wanita yang celaka adalah yang sulit maharnya dan buruk akhlaknya.” Kita akan melihat bahwa ‘mahar yang kecil’, ‘mahar yang berlebihan’, dan ‘mahar yang mudah’ tidaklah sama. Perbedaannya adalah pada kemampuan, keridhaan kedua pihak dan juga barakah yang diperoleh setelahnya.

Di hari-hari menjelang wafatnya, Rasulullah mengingatkan,”Barangsiapa menikahi seorang perempuan dengan harta yang halal, tetapi menginginkan kemegahan dan kesombongan, Allah tidak akan memberinya bekal kecuali kehinaan dan kerendahan. Sesuai dengan kadar kesenangannya, Allah akan menyuruhnya berdiri di tepian jahannam dan kemudian jatuh ke dalamnya sejauh tujuh puluh kharif (ukuran panjang).”

Tuntunan Islam tentang mahar ini sangat menentramkan. Jika ada kisah wanita Fuzarah yang ridha menikah dengan mahar berupa sepasang terompah (HR Abu Daud dan Tirmidzi), ada pula kisah tentang ’Abdurrahman bin ‘Auf yang memberi mahar satu nawat emas ketika menikah. Satu nawat, kata Shaleh bin Ghanim As-Sadlan, bagi penduduk Madinah adalah seperempat dinar. Rasulullah sendiri memberi mahar kepada setiap istri beliau sebesar 500 dirham (HR Muslim, Abu Daud dan An-Nasa’i), kecuali Ummu Habibah yang mendapat mahar lebih karena Raja Najasy yang membayarkan maharnya, bukan Rasulullah (HR Abu Daud, An-Nasa’i dan Ahmad).

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, mengatakan:
“Hadis-hadis itu mengandung ajaran bahwa mahar tidak ditetapkan batas minimumnya, segenggam gandum, sebuah cincin besi, dan sepasang terompah pun dapat dijadikan sebagai mahar dan sah pernikahannya. Sebaliknya berlebihan dalam mahar makruh hukumnya dalam pernikahan dan mengurangi barakah perkawinan.”

Memberatkan mahar dapat membuat pernikahan menjadi kehilangan barakahnya, Ikatan mereka bukan lagi al-’athifah (jalinan perasaan), melainkan serangkaian kewajiban untuk memenuhi tanggung jawab hukum dan sosial. ‘Abdul Hamid Kisyik, seorang ulama Mesir, berkata, “Jika mahar dibuat mahal, akhirnya menyebabkan kerusakan dan keresahan di muka bumi. Hal ini tidak lagi maslahat untuk ummat. Karena itu, wanita yang paling sedikit maharnya justru memiliki keagungan dan akan mendapat kebarakahan yang amat besar.”

Sebaliknya, berlebih-lebihan dalam mahar dikhawatirkan membawa madharat karena akan menjadi tradisi. Tindakan ini kemudian membentuk persepsi umum tentang status sosial, stratifikasi sosial, pola interaksi, serta prasangka social, sementara para pemudanya menjadi takut menikah. Sayyidina ‘Ali mengingatkan,“Jangan berlebih-lebihan dengan mahar wanita, sebab hal itu akan menyebabkan permusuhan.”

Rasulullah sendiri melarang pihak laki-laki berlebih-lebihan dalam mahar apalagi diluar kemampuannya. Baik mahar Rasulullah s.a.w. maupun ‘Abdurrahman bin ‘Auf, nilainya mencapai 500 dirham. Jumlah ini tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil menurut ketentuan masyarakat yang berlaku saat itu dan pastinya sesuai dengan kemampuan. Abdurrahman bin Auf sendiri masa itu adalah seorang pedagang besar.

Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Rasul memberikan bahwa dia telah menikah dengan seorang wanita Anshar dan mahar yang diberikan adalah 4 Uqiyah. (Syaikh Mansur Ali Nashif mengatakan bahwa 1 uqiyah sama dengan 40 dirham). Rasul kemudian berkata, “Empat uqiyah? Seolah kamu mengukir perak pada permukaan gunung ini…” (HR Muslim). Imam An-Nawawi menjelaskan makna hadits tersebut dalam Syarah Sahih Muslim, bahwa,“Ungkapan ini memberi makna makruh memberi mahar melebihi kemampuan yang dimiliki suami pada saat pernikahan.”

Jadi, sebaik-baik mahar adalah ‘yang dimudahkan’, yaitu yang diberikan dan diterima dengan kerelaan kedua belah pihak. Artinya sesuai dengan kemampuan suami dan keridhaan istri terutama ketika mahar yang diberikan jauh lebih kecil daripada kebiasaan yang berlaku jika suami tidak mampu. Serta tidak dianjurkan pula berlebih-lebihan dalam memberikan mahar apalagi diluar kemampuan pihak laki-laki. Kalaupun pihak laki-laki tersebut mampu memberikan melebihi mahar yang berlaku dalam masyarakat, ada baiknya menahan diri. Kelak, ia bisa memberikannya sebagai hadiah kepada istrinya. Ini akan menambah kasih sayang di antara keduanya.

Ketika pernikahan berlangsung melalui proses yang sederhana dengan mahar yang ringan, insyaallah akan tumbuh kasih sayang dan penerimaan dalam hati suami. Sedangkan pada istri akan timbul keridhaan dan kesetiaan. Pada mahar yang ringan, ada kekayaan jiwa yang menenteramkan. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kaya akan jiwa.” (Muttafaqun ’alaihi), ada kepercayaan tentang ketulusan cinta dan kesediaan istri untuk berjuang bersama-sama. Seperti ketika Ummu Sulaim mengatakan tidak meminta apa-apa kecuali keislaman Abu Thalhah, yang terkesan bukanlah keinginan calon istri untuk kepentingan dirinya sendiri. Tapi lebih besar dari itu yaitu misi keselamatan bagi keduanya di dunia dan akhirat.

Karena itu wanita, jangan letakkan harga dirimu pada mahar, mudahkanlah agar menjadi sebaik-baik wanita. Mahar adalah hadiah. Sedangkan hadiah dapat menumbuhkan dan menguatkan perasaan sayang dan cinta-kasih. Rasulullah mengatakan,“Berikanlah hadiah, itu akan menumbuhkan dan memperkuat rasa cinta.” Yakinlah, apapun anjuran Allah dan Rasul pastilah membawa kebaikan. Saat taat melewati batas perasaan suka dan tidak suka, allah akan bukakan jalan keluar dari masalah yang di luar kuasa kita. Saat ridha dan barakahNya hadir, akan mempermudah datangnya pertolongan Allah di saat kita merasa sulit.

Seperti yang dikatakan Salim A. Fillah (Jalan Cinta Para Pejuang), “Barakah akan memberi nuansa lain, akan mendewasakan ketika menghadapi tantangan-tantangan baru, membawa kebahagiaan di hati, kelapangan di dada, dan kejernihan di akal. Memberi ketenangan ketika menghadapi badai, membawa senyuman meski air mata menitik-nitik, menyergap rindu di tengah kejengkelan, menyediakan rengkuhan dan belaian lembut saat dada sesak oleh masalah.” Wallahu ‘Alam
READ MORE - Wanita, Jangan Letakkan Harga Dirimu Pada Mahar

Minggu, 01 Juli 2012

Fihi Khair - Selalu Ada Kebaikan


SEPERTI biasa anak-anak datang ketempat saya dengan bermacam ragam keperluan. Ada yang sakit, minta ijin berobat, curhat, dll, terkadang mereka datang hanya sekedar bercerita tentang apa yang mereka pelajari dan alami hari ini. Saya pribadi sangat menikmati saat bersama anak-anak ini dalam kondisi apapun:) Termasuk cerita-cerita mereka yang justru banyak memberi pelajaran untuk diri saya sendiri. Salah seorang dari mereka bercerita ulang tentang sebuah kisah yang menurut saya sarat makna.

Alkisah seorang penasehat di penjarakan oleh sang raja karena sering kali mengatakan “fihi khair-selalu ada kebaikan di dalamnya” bahkan ketika jari raja terpotong. Sang raja lalu pergi berburu bersama pasukannya. Tiba-tiba mereka di tangkap oleh segerombolan kanibal yang kemudian memilih raja untuk dijadikan tumbal. Namun akhirnya mereka melepaskan sang raja saat melihat jarinya yang terpotong, karena mereka hanya memilih yang terbaik untuk dijadikan persembahan.

Sang raja pulang ke istana dengan perasaan bersyukur dan berkata pada penasehatnya “kamu benar memang ada kebaikan dari jari saya yang terpotong, lalu apa kebaikan bagi kamu sendiri? Dari kemarin kamu kan saya penjara?”. Penasehat tersebut tersenyum dan menjawab, “fihi khair, seandainya saya ikut berburu dengan raja, ketika raja dilepaskan, bukankah tumbal selanjutnya adalah saya?”.
-------------------------------------------------------------------------------------
Benar, selalu ada kebaikan di setiap kejadian yang kita alami. Allah tidak pernah mendatangkan bahaya bagi makhlukNya, semua perbuatanNya adalah demi kebaikan meskipun secara lahiriah tampak seperti musibah.

Fihi khair..Tak ada yang kebetulan atau sia-sia. Baik-buruk tidak selalu seperti yang terlihat. Allah menciptakan segala sesuatu dengan seimbang, kemudahan dan kesusahan masing-masing ada jatahnya, agar jiwa manusia seimbang. Kesedihan dan kemunduran tidak selamanya buruk, terkadang ia menjadi dorongan untuk maju. Ibarat anak panah yang ditarik mundur untuk kemudian melesat jauh ke depan. Sebaliknya kesenangan terus menerus belum tentu baik, terkadang ia seperti gelas panas yang ketika tiba-tiba dituang air dingin langsung pecah dan selalu berada dalam kemudahan terkadang membuat jiwa kita jadi tidak siap menghadapi cobaan.

Semua ketentuan Allah adalah baik. Keterbatasan pengetahuanlah yang membuat kita menilai sesuatu itu baik atau buruk, beruntung atau tidak. Wallahu 'Alam
READ MORE - Fihi Khair - Selalu Ada Kebaikan

Minggu, 17 Juni 2012

Ibu; Pendidik Pertama


SEDIKIT menyinggung bahasan sebelumnya tentang kualitas dan kuantitas waktu, menurut saya pribadi, waktu berkualitas (quality time) ada di jumlah waktu (quantity time) itu sendiri. 24 jam sehari sejak mereka lahir, kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Bukankah orang tua adalah role contoh teladan bagi anak-anaknya? Bahkan seorang ibu adalah pendidik pertama, guru yang melebihi guru manapun, sekolah yang tak pernah libur. Lalu, bagaimana seorang ibu akan membentuk anak-anaknya, jika kualitas waktu yang dimaksud hanyalah sisa-sisa hari setelah lelah bekerja diluar rumah sepanjang hari atau sisa-sisa weekend dalam seminggu?.

Saya tidak mengatakan para ibu tidak boleh membantu keuangan suami mereka atau tidak melakukan pekerjaan rumah sama sekali selain merawat anaknya, masalah membagian waktu bukanlah persoalan yang kita bahas disini. Tapi, kalau niatnya adalah membantu, ada banyak hal yang bisa dikerjakan dirumah yang juga menghasilkan uang tanpa harus seharian berada di luar rumah. Pada dasarnya tugas seorang ibu sangat mulia, jauh lebih besar dari pada sekedar mencari uang. Para ibu menyelamatkan dunia dari kerusakan moral dengan mendidik anak-anaknya, mendidik generasi berakhlak mulia.

Seorang penyair berkata:
ibu adalah madrasah jika kamu menyiapkannya
Maka dia akan menyiapkan generasi berkarakter baik,
Apabila para ibu tumbuh dalam ketidaktahuan
Maka anak-anak akan menyusu kebodohan dan keterbelakangan.


Beberapa wanita di negara barat bahkan gencar menyuarakan pentingnya menjadi ibu rumah tangga setelah mereka merasakan pahitnya resiko dari meninggalkan anak-anak dengan keluar rumah. Mereka mengakui nilai-nilai positif dari seruan Islam kepada para wanita agar tetap di rumah. Adakah ibu muslimah mengambil pelajaran?

Proses pendidikan ini bahkan di mulai sejak anak masih berupa janin. Para ahli mengatakan, ketika janin berusia 4,5 bulan dalam kandungan ibunya, indra pendengarannya telah sempurna menangkap suara-suara yang dihasilkan dari dalam tubuh sang ibu. Tak heran jika kemudian kita mendengar kisah para sahabat seperti Imam Syafi’i yang sejak kecil beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya sendiri, dalam usia 9 tahun sudah menghafal seluruh isi Al-Qur’an dengan lancar. Atau seperti Imam At-Thabari yang telah menghafal Al-Quran ketika berumur 7 tahun dan memulai pencatatan hadits sejak usia 9 tahun. Sejak kecil mereka sudah gigih menuntut ilmu dan merenungkan kejadian-kejadian yang ada disekelilingnya sehingga hatinya peka terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah. Semua ini tak mungkin lepas dari peran orang tua, khususnya ibu.

Itulah sebabnya, saat hamil seorang wanita harus menjaga kondisi emosionalnya serta dianjurkan untuk menjaga ucapan, pandangan, pendengaran, dan makanan disamping juga menjaga kesehatannya. Para ibu sebaiknya membiasakan memperdengarkan Alquran pada anaknya sejak dalam kandungan, hingga ketika lahir sang anak menjadi peka ketika mendengar alquran karena telah terbiasa.

Terus berlanjut ketika para bayi itu beranjak menjadi kanak-kanak, Masa ini adalah masa pembentuka dimana orang tua mengajarkan mereka untuk mengerti mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Kebiasaan-kebiasaan baik seperti kedisiplinan, meletakkan mainan, membuang sampah pada tempatnya, menjaga kebersihan, membantu pekerjaan rumah, dan lain-lain diajar sejak usia ini. Terkesan seperti pelajaran PPKN yak,,hehe.. tapi hal ini bisa dibentuk dengan pengawasan terus menerus dari seorang ibu. Kebiasaan menghibur anak dengan televisi ketika menangis atau membiarkan mereka sepanjang hari bergantung pada tivi dan HP tanpa pengawasan adalah bahaya besar, karena mereka akan belajar pada benda tersebut. Menganggap idola dan teladan mereka ada disana. Lupa pada keteladanan yang diwariskan para Nabi dan Sahabat.

Di usia remaja, pengawasan mereka mungkin berbentuk kedekatan orang tua dengan anak. Di usia ini mereka membutuhkan ‘sahabat’ yang nyaman untuk berbagi banyak hal (curhat). Kita tentu tak ingin para remaja ini mengambil saran dari pergaulan yang merusak. Baik Rasulullah maupun para Imam Maksum Ahlul Bait dalam banyak kesempatan menekankan untuk memilih sahabat dan kawan dengan benar. Rasul bersabda, “Manusia beragama seperti sahabatnya, Karena itu, hendaknya dia teliti dengan siapa dia menjalin persahabatan.” Hadis ini menerangkan sejauh mana pengaruh seorang kawan sehingga bisa mempengaruhi keberagamaan sahabatnya. Bahkan Allah juga menegaskan, "Pada hari itu orang yang zalim menggigit tangannya (jari) dengan penuh penyesalan sambil berkata alangkah baiknya kalau aku dahulu menurut ajaran Rasul Allah. Wahai alangkah baiknya kalau aku tidak menjadikan si anu sebagai sahabat karib. Ia telah menyesatkan aku dari mengingati pesanan (Allah) setelah peringatan itu datang. Memang syaitan akan melepaskan diri dari kejahatannya terhadap manusia." (Al-Furqan: 27-29)

Allah berfirman dalam surat al-Zukhruf:67, “Pada hari kiamat kelak) orang yang bersahabat saling bermusuhan di antara satu sama lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa." Rasul juga mengingatkan bahwa, "Seseorang itu dikenali berdasarkan sahabatnya, maka berwaspadalah / bersikap bijaksanalah dalam memilih sahabat." (Riwayat Ahmad). Dalam hal ini peran orang tua sangat dibutuhkan. khususnya ibu yang selalu berada dekat dengan anak-anaknya, membimbing mereka agar mampu menjaga diri dalam pergaulan serta memilih sahabat dan lingkungan yang baik. Ini bukan berarti para remaja lalu dilarang bergaul, hanya saja di usia pancaroba ini para remaja perlu diiingatkan, diarahkan, dirangkul, dan diperlakukan seperti seorang ‘sahabat’. Hingga saat mereka membutuhkan orang lain untuk mendengarkan curhat atau keluh kesahnya, mereka tahu di rumah ada sang ibu penuh kasih sayang yang siap mendengarkan dan memberi saran yang baik.

Membiarkan mereka seharian di warnet atau main Play Station di rumah adalah bahaya besar. Membiarkan mereka bersenang-senang sepanjang hari tanpa didikan pemahaman agama yang benar, tanpa belajar kedisiplinan dan kerja keras, tanpa penjelasan tentang makna hidup, tanpa pendampingan dimasa pencarian jati dirinya, sama saja dengan membiarkan mereka tersesat di kemudian hari. Kita tentu tak ingin biarkan anak-anak terlalu lama mengenal Rabbnya.

Karena itu, Ibu adalah “madrasatun ula”, pendidik pertama dari awal pembentukan hingga dewasa. Sejak kecil mereka memperkenalkan Allah pada anak-anaknya, terus menerus mengingatkan mereka hingga tertanam kuat sampai dewasa dan menjadi pelita dalam kehidupan anak-anak mereka selanjutnya. Wallahu ‘alam
------------------------------------------------------------------------------------
"Ya Rabb, segala shalat dan puasa kami yang Engkau terima dan Engkau berkahi, segala zakat dan sedekah kami yang Engkau terima dan Engkau berkahi, serta segala amal kami yang akan engkau beri balasan kebajikan, berikanlah balasan bagi orang tua kami dengan yang lebih besar dari pada yang kami terima, jadikanlah kami orang2 yang selalu melaksanakan perintahMu agar balasan untuk kedua orang tua kami Engkau lipat gandakan lebih dari apa yang kami lakukan untuk mereka dan untuk diri kami sendiri, sayangilah mereka ya rabb melebihi kasih sayang mereka kepada kami di waktu kecil, amin”
READ MORE - Ibu; Pendidik Pertama